Dinia. Powered by Blogger.
RSS

Pada Sebuah Halte

 

“Maukah kau menjadi ibuku ?”, seorang gadis kecil berusia 5 tahun, berbaju dekil, tanpa alas kaki menarik ujung blusku. Tatapannya penuh harap. 

“Hey, siapa namamu, Nak ? Kemana ibumu ?”, aku berjongkok, membelai rambut kusam anak itu. 

"Jika kau mau menjadi ibuku, maka sekarang ibuku ada didepanku” 

"Bukan, maksudku ibu kandungmu. Dimana dia ? Mengapa dia membiarkanmu di jalan sendiri ?”
 “Aku seharusnya tak pernah dilahirkan. Aku tiba-tiba saja aku ada di dunia. Aku tak tahu siapa yang melahirkanku. Apa jika perempuan melahirkan ia pasti menjadi ibu ?”

“Tentu saja, Nak. Ayo kita duduk di situ. Bus yang kutunggu belum datang”

Halte simpang dua masih selalu ramai pada petang hari menjelang maghrib. Tak ada kelas di sini. Semua orang sama, menunggu. Tak penting apa yang akan mereka naiki nanti, bus, angkot, atau taksi. Semua menunggu. Berharap kendaraan yang akan mengantar mereka segera datang dan membawa mereka dari kegelisahan penantian. 
Mereka semua punya keyakinan kendaraan yang ditunggu akan datang, tapi entah kapan. Seperti nasib ; hidup, mati, jodoh. Jadi lihatlah cara mereka menanti ; ada yang menghabiskan waktu dengan berdiri mengamati ujung jalan, diam, menanti dengan gelisah. Ada yang duduk membaca, mencoba membunuh waktu. Ada yang berbincang, membicarakan diri sendiri, orang lain, berbohong, membual, membenarkan diri sendiri, menyalahkan yang lain. Tapi ada juga yang tersenyum, tertawa gembira, entah karena apa. Mungkin harapannya terkabul atau ia sudah melihat bus yang ditunggunya muncul diujung jalan dan waktunya pun tiba meninggalkan semuanya menuju akhir. 
Tapi aku masih di sini, bersama gadis kecil yang tiba-tiba saja muncul dan menarikku ke dunianya. Aku bertanya dari mana dia datang ? Apa dia turun dari langit ? Dimuntahkan bumi ? Atau “Simsalabim!” lalu muncul begitu saja ?

“Siapa namamu ?”

Ia diam. Masih memandangiku, mempelajari tiap inci wajahku, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri.

“Siapa namamu, Gadis kecil ?”aku mengulang pertanyaanku.

Ia menggeleng.

“Hey, kau punya nama kan?”

"Apa itu nama ?”

“Itu adalah sebutan untuk dirimu sendiri. Jika orang ingin memanggilmu, ia akan menyebut namamu, ia akan memanggilmu dengan namamu. Kamu tahu kan ?”

“Kamu bisa memanggilku dengan sebutan apa saja”

“Hah? Jadi kamu tak punya nama? Ibumu tak pernah memberimu nama?”

“Sudah kubilang selama ini aku tak punya ibu dan aku juga tak punya nama. Maukah kau memberiku nama? Jika kau memberiku nama, kau akan jadi ibuku, benar begitu kan ?”

Ya Tuhan…bagaimana ini ? betapa sederhana anak ini, betapa sederhana ia menyimpulkan masalahnya, betapa polos ia. Siapa ibu yang tega membiarkan gadis kecil ini sendirian, tanpa pengalaman ia memahami hidup ini dengan caranya sendiri, tak ada yang membantunya, mengenalkannya  pada dunia. Bahkan namanya sendiri…

“Namaku Sovia,” kuulurkan tanganku.

Ia menatap tanganku, lalu pandangannya kembali menatapku ; menatapku tajam, seperti mencari sesuatu, mencoba memahami, tapi ia tak menyambut uluran tanganku.

“Aku ingin memanggilmu Ibu”

Aku menghela nafas. Banyak pertanyaan yang menggenang di otakku untuk gadis kecil ini. Tapi entah, aku tak bisa lagi mananyakan sesuatu padanya. Aku tak tahu harus bagaimana. Ini terlampau rumit. Hidupku, juga rumit. Aku tak mau lagi makin memperumitnya.

Kualihkan pandanganku ke ujung jalan. Bus yang kutunggu muncul. Aku berdiri. Rasanya separo bebanku terangkat. Kukumpulkan kembali energiku untuk melangkah.

“Busku datang, Nak!”

Tatapannya sedih, “Kau juga akan pergi seperti yang lain”

Aku tersenyum, memandang kembali pada bus yang berjalan melambat, mendekat.
Aku berdiri, melangkah ke ujung trotoar. Gadis kecil itu mengikuti. Aku tahu. Harus ada yang kulakukan. Aku harus membuat keputusan. Hidup ini tak panjang, jadi sebuah keputusan harus dibuat. Waktuku hampir tiba.

Aku berbalik padanya, membelai rambutnya, menghapus noda di wajahnya.
“Nak, aku ingin memanggilmu Sovia. Nama yang sama dengan namaku. Ketika orang memanggilmu dengan nama itu, kau akan mengingatku.”

Wajah gadis kecil itu tiba-tiba bersinar, matanya yang berbinar mengatakan segalanya.

“Kau akan mengingatku, Sovia?”

Ia tersenyum.

“Sovia..”

Ia mengangguk.

Bus yang ku tunggu berhenti. Sekali lagi aku menghela napas dalam-dalam. Melepaskan beban yang menghimpitku sekian waktu.

Aku melangkah, naik ke atas bus, kondektur menunjukkan padaku bangku kosong di deret nomor dua dekat jendela. Aku duduk dengan lega.

Bus bergerak perlahan. Perjalanan ini akan membawaku pada pemberhentian akhir. Aku menoleh ke luar, melihat gadis kecil itu melambaikan tangan, berlari kecil mengikuti bus yang kutumpangi. Samar kudengar ia berteriak, mencoba menyaingi deru suara bus yang meraung-raung.

Ia berhenti berlari, masih melambaikan tangan dan berteriak memanggilku, “Ibu…”

Bandung, 7 April 2006 
Seingatku aku pernah memposting tulisan ini di blog friendster, blog pertamaku, yang kini juga sudah susah dibuka. Aku menemukan tulisanku ini di tumpukan file pada sebuah folder yang hendak kuhapus. Aku heran mengapa aku dulu bisa membuat cerita semacam ini. Bagiku, saat ini, tulisan ini justru terasa magis, entah kenapa...











  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment

Search This Blog