Dinia. Powered by Blogger.
RSS

Pergi ke PelukanNya

In Memoriam : 'Ami Munir Chozin



Dia kakak lelaki ibuku. Lahir tepat 2 tahun sebelum ibuku dilahirkan. Kakak adik ini sangat dekat. Mungkin itu pula yang membuat aku juga dekat dengannya. Aku memanggilnya ami. Panggilan ami berasal dari bahasa Arab 'Aamun artinya paman, sedangkan 'Ammy berarti pamanku. Aku tak tahu siapa yang mengajariku memanggilnya ami, tapi aku suka sekali dengan panggilan itu. Sekarang, hampir semua sepupuku juga ikut memanggilnya ami.

Orang bilang dia pendiam. Tapi menurutku tidak. Kami banyak menghabiskan waktu kami bertemu dengan mengobrol tentang banyak hal. Ingatannya tentang masa lalu sangat baik. Dia menceritakan kisah nyata seperti dongeng yang bagiku sangat menarik. Pernah kukatakan padanya : Ami ini seperti saksi sejarah saja. Dan dia hanya tertawa. Tawa ami hangat sekali, membuat wajahnya yang tampan bersemu merah. Ya, amiku berwajah tampan : hidungnya mancung seperti orang Arab, matanya teduh, berkulit putih. Ami tidak terlalu tinggi, kurang dari 160cm kukira, tapi dia selalu berpenampilan modis dan bagiku ami selalu tampak keren.


Saat aku masih di bangku sekolah dasar, aku sempat merasa bahwa amiku itu sejenis superhero : temannya Superman, Batman, Satria Baja Hitam, selalu datang jika keluargaku butuh pertolongan. Pernah suatu saat ibuku panik saat mendapatiku tersungkur sepulang sekolah, perutku melilit tak tertahankan. Minyak kayu putih dan obat maag tak mempan. Hingga tengah malam aku makin lemas. Ayah sedang dinas di luar kota, jadi ibu sendirian panik mencari pinjaman kendaraan untuk membawaku ke rumah sakit. Saat itu kami belum punya telepon rumah, apalagi ponsel. Di saat genting itu, di tengah malam buta, seperti superhero, amiku datang, tanpa dipanggil, tanpa komando, seolah punya alarm detektor dalam dirinya jika kami butuh pertolongan. Aku dilarikan di rumah sakit dan menginap setengah bulan karena terkena radang usus bengkak. Ke-superhero-an amiku itu terus berulang saat ibuku kecelakaan, saat adekku lahir prematur, adekku operasi amandel, pun saat ayahku tugas di luar kota, amiku selalu hadir membantu.

Ibuku bilang ami adalah seorang pekerja keras. Sejak ami masih muda, ami sudah bekerja untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya, hingga perguruan tinggi. Dia bahkan melupakan kepentingannya sendiri untuk sekolah, mengabaikan impiannya sendiri untuk menikah dan berkeluarga.

Banyak hal menarik yang membuatku selalu mengingat ami. Seperti ami suka sekali buah alpukat. Alpukat dibelah dua, lalu disendok langsung dari buahnya. Aku melotot heran melihatnya makan dengan cara seperti itu. Ami makan sambil tertawa, dia bilang ini cara terbaik makan alpukat dan membuat rasa alpukat lebih nikmat.

Ami juga pintar memasak. Dulu, ami bekerja sebagai pengawas di sebuah pabrik garmen di Surabaya. Tapi selain sebagai pengawas, ami sering juga ditodong jadi koki kalau ada acara makan-makan besar di pabrik. Kambing guling, ayam bakar bumbu, kari, bistik, gulai, sate, pokoknya masakan yang bagiku termasuk jenis masakan advanced adalah spesialisasi masakan ami.

Ami dan rokok. Ya, ami dan rokok seperti sahabat karib. Suka dan duka selalu bersama. Kemanapun dan kapanpun ami pergi, rokok selalu setia menemani. Suatu hari aku pernah bilang pada ami bahwa bau badan ami seperti tembakau rokok, jadi kalau sedang cium tangan api berasa cium rokok. Ami hanya tertawa.

Tapi kemudian sahabat karibnya itu membuat amiku sakit. Rokok itu telah membuat amiku stroke di usia yang sangat muda kala itu, sekitar 42 tahun. Ami yang selalu lincah, penyayang, superheroku yang selalu siap membantu, tergolek lemah tak berdaya. Dua hari ami tak sadarkan diri. Saat dia sadar, ia hanya bisa menitikkan air mata. Seingatku, itulah kali pertama aku melihat ami menangis.

Sama seperti saat sehat, saat sakitpun amiku selalu bekerja keras : tak pernah lelah menyerah, selalu berjuanng untuk sembuh. Dari tak bisa menggerakkan tubuh sama sekali, hingga bisa duduk, dan belajar berjalan tertatih. Tubuh bagian kanan ami paling susah pulih, tangan dan kaki kanan ami mengecil karena susah digerakkan. Tapi selalu saja ami berupaya : memaksa tubuhnya bergerak lagi, menyeret kakinya bergeser, melakukan hal-hal yang bisa dia lakukan sendiri, karena tak ingin merepotkan orang.

Hal yang paling mengagumkan dari amiku adalah ditengah sakitnya itu, ami tak pernah meninggalkan ibadah. Ami tak pernah tinggal sholat. Ia habiskan waktu luangnya untuk berdzikir, mewirid doa-doa, memasrahkan kesembuhannya pada Tuhan penciptanya. Ami mengaji Al Quran tiap hari seolah itulah hobi paling menyenangkan hatinya. Seminggu sekali ami khatam membaca kitab suci : dimulai hari kamis, dan khatam pada hari rabu. Selalu begitu tiap minggu. Aku pernah bertanya bagaimana ami bisa melakukan itu ? apakah ami mengaji dengan mengebut ? Ami tertawa, tawa yang hangat seperti biasanya, dia bilang : mana ada mengaji dengan mengebut, kalau mengaji ya dibaca saja, mengaji membuat hati tenang, mengaji membuat ami tak terlalu mencemaskan sakit, mengaji membuat ami dekat dengan Allah. Ami bilang ami tak punya siapa-siapa, tak punya istri, tak punya anak, hanya Allah yang ami punya, tempat ami pasrahkan segalanya. Aku tergugu mendengarnya, hanya bisa memeluknya, mencium pipinya dan berkata : aku juga anakmu, ami...

Mereka bilang amiku pendiam, tapi aku bilang tidak. Ami diam karena tak ada yang mengajaknya bicara. Apalagi sejak ami sakit, jarang ada yang mengajaknya ngobrol. Amiku masih selalu bercerita banyak hal padaku. Mengenang kejayaan masa lalunya saat masih sehat. Bercerita tentang orang-orang yang pernah ditemuinya, mengingat kejadian yang pernah terjadi padanya, atau sekedar mengomentari kabar terbaru yang dia lihat dari TV atau koran. Ingatan ami saat sakitpun masih sangat baik.

Ami tinggal sendiri di rumah almarhum eyang. Lelaki hebat yang terkena stroke itu sendiri saja mengurus dirinya. Sesekali ditengok saudara dan handai tolan. Selalu bersemangat menyambut siapapun yang berkunjung. Jika aku datang, ami selalu tersenyum sambil menangis saat kupeluk, selalu bertanya lebih dulu : apa kabar, nak..kamu sehat kan ? Lalu seperti biasa kami mengobrol lama.

Hingga pada hari Minggu dini hari pukul satu, di penghujung bulan Oktober, amiku pergi ke pelukanNya. Sembilan tahun hidup dalam stroke, lelaki yang mereka bilang pendiam itu, menghadap Penciptanya, sehabis mengaji, dengan Al Qur'an masih di sisinya. Kepergiannya ditaburi doa-doa, keluarga, kerabat, sababat, handai tolan, peziarah, dan aku yang tak henti mengenang. Di tengah rasa kehilanganku, di tengah rasa rinduku padanya, pada cerita-ceritanya, pada hangat tawanya ... aku merasa dia hadir. Ya, barangkali kematian memang cara lain menjalani kehidupan. Dan aku yakin di kehidupan almarhum amiku sekarang, dia berbahagia, dalam pelukan Sang Maha Pemilik Cinta. Aku akan selalu merindukanmu, ami. Selamat jalan, doaku besertamu...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Ulil said...

Turut berduka cita ya dot,, ikut sedih mbacanya walaupun kmu dah pernah cerita long time ago,,mudah2an ami diberikan tempat terbaik disisi-Nya aamiiiin

Post a Comment

Search This Blog