Dinia. Powered by Blogger.
RSS

Perempuan Bernama Indah - part 1


Aku bertemu dengannya dengan cara yang biasa. Beberapa kali melihatnya di televisi saat dia melaporkan peristiwa, menyajikan berita. Lalu melihatnya lagi di rumah kos baruku di Kedoya Kebon Jeruk pada penghujung tahun 2006. Aku tersenyum saat melihatnya berlalu meninggalkan kesan padaku : lincah, energik, cantik, bersemangat, dan jalannya selalu bergegas rancak dengan heels yang tampak mantap di kakinya. Kami hanya berbagi senyum, bertegur sapa, dan sudah. Aku tahu perempuan itu bernama Indah. Tapi saat itu aku yakin dia tak akan mengingatku lagi jika kami bertemu di jalan.

Suatu hari, dia sakit usus buntu. Usus buntunya harus di potong, harus operasi. Aku tak tahu kapan persisnya dia melakukan operasi usus buntunya itu. Hanya saja hari itu kosanku ramai pengunjung, orang-orang kantor tempat dia bekerja menengoknya. Aku pikir, sebagai teman kos yang baik, sepatutnya aku juga menengoknya.

Dan di sanalah dia, terbaring cantik dengan tumpukan bantal, selimut, dan suasana kamar yang bernuansa pink. Ya ! Pink! Aku tersenyum melihatnya terbaring ceria, menyapaku, dan bercerita panjang lebar sambil menunjukkan jahitan operasinya. Dia menyala seperti pijar-pijar kembang api yang membuat siapapun gembira melihatnya. Bagiku sungguh ajaib ! Untuk ukuran orang baru operasi dengan jahitan masih basah dan masih perih saat bergerak, dia masih saja terlihat antusias, full energi.



Belakangan baru dia mengaku padaku bahwa sebenarnya saat aku datang menengok itulah secara resmi dia baru tahu namaku. Dia baru menanyakan namaku pada teman sekamarnya saat aku sudah pergi. Hehehe... see, begitu menariknya dia !

Setelah pertemuan itu, aku lebih sering melihatnya, kami lebih sering menyapa, menanyakan kabar, ngobrol ringan. Selebihnya, aku masih melihatnya berjalan cepat bergegas, heels yang selalu menghias, kaca mata lebar sepertiga muka, dan segala yang berwarna pink : pink di baju, pink di jam tangan, pink di tas, bahkan pink di pipinya. Perempuan itu bernama Indah.

****

Tengah malam, aku dan beberapa kawan berkunjung ke rumahnya untuk melayat : daddy, ayahnya tiada.

Rumah itu ramai sekali. Dini hari, para pelayat hilir mudik silih berganti. Almarhum pasti orang yang sangat baik, pikirku. Bisa dilihat dari banyaknya pelayat, banyak yang merasa kehilangan, banyak yang mengenang dan berkisah tentangnya. Lalu doa-doa dirapalkan, Yasin dilantunkan, disela ratap dan isak sanak kerabat.   

Aku melihatnya di sana, tidur tengkurap di sebelah jasad almarhum ayahnya. Ia serupa bocah kecil, yang lelah bermain seharian, seusai dibacakan dongeng, dan tidur lelap disisi sang ayah.

'Semoga engkau tabah, semoga engkau kuat, semoga engkau baik-baik saja, kamu punya segalanya untuk menjadi baik-baik saja..' doaku untuknya saat itu, saat sekali lagi aku melihatnya dari sudut lain : dia tak akan menjadi Indah yang sama lagi, tapi dia akan 'tumbuh', menopang dengan akarnya sendiri.

Beberapa hari kemudian, rumah kos tampak ramai, banyak kawan dari kantor berkunjung, naik ke lantai atas ( rumah kos kami 2 lantai, kamar Indah ada di atas, paling ujung, kamarku di bawah dekat ruang tamu ). Aku tahu mereka mengunjunginya. Aku juga ingin menengok kondisinya, jadi aku menunggu saat suasana lebih tenang. Lepas maghrib, satu persatu kawan kantornya pamit pulang.

Aku menengoknya, di ruang tengah lantai atas ada beberapa kawan berkumpul. Aku bertanya dimana Indah ? Mereka bercerita lirih, berbisik : Indah di kamar sedang sholat, dia masih shock, dia banyak diam, tak ada yang berani bertanya tentang daddy-nya, semua menjaga ucapan agar emosi Indah tidak meluap, dia banyak menangis, jadi hati-hati jika berbicara dengannya, begitu mereka mengingatkanku.

Di kamarnya, aku melihatnya masih memakai mukena, membaca doa-doa di secarik kertas. Dia menengok ke arahku, tersenyum, memintaku menunggu nya menyelesaikan doa. Aku menurut. Melihatnya memakai mukena, hal yang jarang kulihat, dia cantik sekali biarpun saat itu dengan mata sembab.
Usai berdoa, dia menyelipkan kertas doanya pada Al Quran kecil, menyimpannya di laci, lalu berpaling ke arahku.

Aku memeluknya, menanyakan kabarnya, mengucapkan belasungkawa yang tak sempat terucap saat melayat. Dia bilang tak ingat ada aku di rumahnya, dia bilang tak banyak ingat siapa saja kawan yang berkunjung. Aku bilang padanya, bahwa daddy pasti orang baik, karena yang melayat banyak sekali. Aku lupa peringatan kawan-kawan sebelumnya agar aku tak menyinggung soal daddy-nya. Dia kembali menangis tentu saja. Tapi dia lalu bercerita runtut, saat awal daddy sakit, saat dia merawat daddy di ICU, bahkan saat-saat akhir daddy wafat. Ceritanya berlanjut pada kenangan-kenangannya tentang daddy saat beliau hidup, betapa dia sosok ayah yang hebat, yang punya cinta tak terukur untuknya, yang selalu memanjakannya, mengkhawatirkannya, masih memperlakukannya seperti seorang putri kecil biarpun kini dia sudah sebesar ini. Dia merasa bersyukur punya daddy yang memberi limpah kasih sayang, tiapi sekarang dia merasa semua itu direnggut darinya. Dia merasa tak ada yang mencintainya sebesar daddy. Kubilang padanya : bahwa daddy masih bersamanya, masih di dekatnya, biarpun berbeda alam, tapi daddy selalu ada, mengamati putri kecil kesayangaannya, berharap putrinya akan selalu baik-baik saja.

Kami berpelukan sekali lagi, ia berterimakasih karena aku sudah bertanya tentang daddy, dan mau mendengarnya bercerita.

Sepertinya itu awal kami menjadi lebih dekat dari sebelumnya, dan entah mengapa sejak itu aku merasa begitu mengasihi perempuan bernama Indah ini.

***
Di rumah sakit. Dia tergolek lemah di ranjang, tubuhnya tersaput keringat dingin. Kucium sayang pipi dan keningnya, dia terjaga. Kutanya apa yang terjadi? Dia bilang, tadi kepalanya pusing tak tertahankan, dia minum obat sakit kepala, karena sakitnya tak kunjung reda dia minum obat lagi beberapa kali, tanpa dia sadari itu membuatnya over dosis. Kubilang padanya itu hal paling bodoh yang pernah kudengar : over dosis obat sakit kepala ? ah, pasti tak sesederhana itu.

Aku masih tak habis pikir orang seceria, sebersemangat, seoptimis dia, bisa melakukan hal-hal di luar dugaan. Apa yang mengganggunya, seberat apa bebannya, mengapa ia merasakan itu semua ? Aku masih yakin ini bukan hanya karena sakit kepala biasa.

'Apa masih ada yang menyayangiku?', gumamnya membuyarkan keheningan kami. Nah, ini dia, aku tahu pasti ada yang mengganggu pikirannya. Dia katakan padaku, bahwa sejak daddynya wafat, dia merasa kehilangan kasihsayang & perhatian. Keluarganya yang lain, kekasih, orang-orang yang dikenalnya, ia merasa mereka  tak cukup menyayanginya sebesar daddy menyayanginya.

Kukatakan padanya, bahwa memang tak akan ada yang bisa menggantikan kasihsayang daddy padanya. Tak akan ada yang bisa menyamai daddy. Tapi, masih banyak orang yang akan menyayanginya. Hanya saja cara masing-masing orang untuk menunjukkan kasihsayang itu berbeda. Kadang tak semua orang bisa mengatakan : i love you, i really care of you. Tapi dia bisa mengungkapkan dengan cara lain : sekedar menepuk bahumu, memeluk, mendengarmu bicara, menanyakan kabar, bahkan ada sebagian yang justru marah-marah padamu untuk menunjukkan betapa khawatir dan cemasnya dia jika sesuatu yang buruk terjadi padamu.

Air mata meleleh di sudut matanya, tissue yang diremasnya sudah koyak, aku memberinya tissue baru. Lalu kami sekali lagi tenggelam diam sekian waktu.

'Apakah kamu menyayangiku?', tanyanya kemudian. Aku tersenyum, 'Menurutmu ? Apa aku menyayangimu ?' Dia diam kembali, entah enggan menjawab, atau memikirkan jawaban yang tepat. Aku tak ingin membuatnya berpikir lagi. 'Ya, aku menyayangimu. Sangat. Mungkin kamu yang harus belajar melihat betapa aku sayang padamu, jadi lain kali kamu tak perlu lagi bertanya : apakah aku sayang padamu'

Mendengar jawabanku, dia tersenyum. Lalu kami berpelukan. Semoga itu cukup menenangkannya. Perempuan bernama Indah ini, terlalu berharga jika harus selalu bersedih & memikirkan hal-hal yang tak perlu. Semoga esok senyumnya merekah kembali.

***


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment

Search This Blog